Tak banyak yang tahu kalau semangat emansipasi kaum wanita di Gowa
bukanlah muncul pada zaman Raden Ajeng Kartini saja. Ratusan tahun sebelumnya,
kaum wanita di Kerajaan Gowa telah memegang peranan penting dalam pemerintahan.
Ini dapat dilihat pada masa kepemimpinan Raja Gowa pertama Tumanurung Baineya
pada tahun 1320, dimana kaum perempuan muncul sebagai pucuk pimpinan di
Kerajaan Gowa.
Kemudian pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XVI, I Mallombasi Daeng
Mattawang Sultan Hasanuddin, dimana kerajaan Gowa dilanda peperangan dengan
pasukan Belanda yang ingin menguasai perdagangan di kawasan timur nusantara.
Perjuangan menentang kehadiran Belanda tidak hanya didominasi oleh pasukan
Tubarani dari kaum lelaki, tetapi juga dari kaum wanita dengan hadirnya pasukan
Balira yang dipimpin oleh I Fatimah Daeng Takontu. Adakah kita mengenal tokoh
ini? Sangat sedikit dari masyarakat apalagi pelajar yang mengenalnya. Inilah
salah satu alasan penulis mencoba merangkum dan mengangkat tulisan tentang
beliau.
I Fatimah Daeng Takontu lahir pada 10 September 1659 adalah putri
tunggal hasil perkawinan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan
Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone I Daeng Takele. Fatimah sangat
dekat dengan ayahnya, bahkan setiap ayahnya memberikan latihan pada prajuritnya
ia selalu ikut. Sehingga Fatimah mewarisi jiwa patriotik ayahnya bahkan
menguasai ilmu bela diri.
Jika sang ayah mendapat gelar “ayam jantan dari timur” maka seorang
penyair Belanda memberi julukan “Garuda betina dai timur” kepada Fatimah.
Julukan itu dberikan karena keperkasaan Fatimah dalam memimpin pasukannya dalam
setiap peperangan.
Walau saat kanak-kanak, I Fatimah selalu diperlakukan manja, akan
tetapi suasana saat itu telah banyak diwarnai pergolakan sebagai akibat adanya
keinginan campur tangan Belanda terhadap kerajaan, sehingga disana sini telah
banyak terjadi pertempuran yang telah gbanyak menelan korban.
I Fatimah juga tak ingin menjadi obyek penjajahan, tetapi sebagai anak
dari seorang ksatria, ia juga tampil sebagai pemberani. Ayahnya kemudian
mempercayakan dia sebagai pimpinan pasukan srikandi atau dalam bahasa Makassar
disebut pasukan Balira.
I Fatimah juga banyak membina kaum perempuan untuk bangkit melakukan
perlawanan terhadap penjajah. Kecintaan terhadap tanah air, sehingga rakyat
Gowa saat itu bahu membahu mengusir penjajahan dari butta Gowa. Senjata yang
paling ampuh bagi masyarakat Gowa saat itu adalah semangat “Abulo Sibatang”
yang menjadi lambang persatuan bagi masyarakat Gowa.
Ketika Belanda mempelajari senjata ampuh Abbulo Sibatang itu, kemudian
ia taklukkan dengan politik adu domba “Devide et Impera”. Politik inilah yang
kemudian memporak-porandakan rakyat Gowa juga termasuk beberapa kerajaan di
Indonesia. Mereka diadu kemudian dilumpuhkan dan dikuasai. Akibat politik
Belanda itu, rakyat Gowa tidak hanya berperang melawan Belanda tapi juga sesama
bangsanya sendiri.
Sejak Islam dijadikan agama kerajaan di Gowa pada masa Raja Gowa XIV
Sultan Alauddin hingga raja-raja berikutnya, selalu menekankan perlunya
memperdalam baca tulis Al Quran. Atas perintah raja, semua mesjid, surau dan
tempat pengajian lainnya selalu dipadati anak-anak santri demikian halnya di
istana. I Fatimah daeng Takontu telah berhasil menamatkan Al Quran dan digodok
untuk memahami isi kandungan Al Quran.
I Fatimah diberi kepercayaan oleh ayahnya yang juga Raja Gowa untuk
memimpin pasukan srikandi, namanya pasukan Balira. Pasukan Balira ini,
bersenjatakan balira yakni salah satu alat yang dipakai oleh orang-orang tua
dulu untuk bertenun. Panjangnya sekitar 1,5 meter, mirip pedang, tapi tidak
tajam, namun keistimewaan balira ini adalah mampu menembus ilmu kebal dari
musuh.
Konon, menurut kepercayaan dari masyarakat Gowa, senjata balira ini
memiliki kesaktian yang luar biasa. Senjata ini tidak melukai, hanya saja
bilamana seseorang terkena pukulan balira, mereka tidak mendapat keselamatan
dan akan terus menderita sakit seumur hidup. Itulah sebabnya, musuh yang tahu
tentang senjata balira ini lebih takut berhadapan pasukan bersenjata balira
dibanding dengans enjata tajam atau senjata api.
Setiap menghadapi pertempuran, pasukan balira ini juga selalu
diikutkan. Mereka selalu dikawal oleh pasukan Tubarani yang didominasi kaum
lelaki. Pasukan Balira ini, tak hanya bersenjatakan balira, namun juga
dilengkapi dengan senjata tajam atau senjata api bila ada. Di pinggangnya
terselip sebilah keris pusaka atau badik yang dapat digunakan pada pertempuran
jarak dekat.
Ditandatanganinya Perjanjian Bungaya, hancurnya benteng Somba Opu
beseta istananya dan benteng-benteng lainnya ternyata tidak diterima baik oleh
beberapa bangsawan Kerajaan Gowa dan sekutunya seperti Kerajaan Wajo, Mandar
dan Luwu. Beberapa bangsawan Gowa yang tak menerima kekalahan ini di antaranya
Karaeng Galesong, Karaeng Bontomarannu, Karaeng Karunrung dan I Fatimah Daeng
Takontu. Mereka bertekad ke tanah Jawa untuk melanjutkan perjuangan Raja Banten
Sultan Agung Tirtajasa dan Raja Mataram Raden Trunojoyo.
Antara Gowa dan Banten sudah lama terjadi hubungan erat, sehingga
kedatangan kontingen dari Makassar mendapat sambutan hangat dari Sultan Banten.
Pasukan dari Makassar ini kemudian bergabung dengan pasukan Banten. I Fatimah
memiliki tanggung jawab yang sangat besar di Banten karena ia adalah pimpinan
pasukan Balira. Ia ingin melampiaskan balas dendamnya terhadap Belanda. Makanya
kedatangannya ke negeri Banten hanya dua pilihan yakni “merdeka atau mati”.
Kiprah I Fatimah bersama pasukan Balira tidak hanya di Banten, ia juga
ikut membantu Kerajaan Mataram bersama kakaknya Karaeng Galesong. Sesuai pesan
dari ayah mereka, Raja Gowa Sultan Hasanuddin, agar selalu menjaga adiknya.
Sehingga dimana Karaeng Galesong melakukan serangan, di sana pula I Fatimah dan
pasukan Baliranya.
Baik pasukan Tubarani pimpinan Karaeng Galesong maupun pasukan Balira
pimpinan I Fatimah, semuanya sudah dilengkapi dengan persenjataan dan ilmu
beladiri. Mereka tidak hanya jago berkelahi di darat, juga di laut punya
keberanian yang sama.
Di Mataram terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda yang
didukung oleh pasukan Sultan Amangkurat II dan pasukan Arung Palakka dari Bone
melawan pasukan gabungan Trunojoyo, Karaeng Galesong dan Bontomarannu.
Karena terdesak, akhirnya pasukan Gowa mundur. Karaeng Galesong jatuh
sakit dan wafat pada 22 November 1679 dan dimakamkan di desa Sumber Agung
Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. I Fatimah mencari tempat perlindungan yang
aman, selanjunya melanjutnya perjalanan ke Banten.
I Fatimah kemudian menikah dengan anak Sultan Banten yaitu Maulana
Hasanuddin. Orang Gowa mengenal Maulana Hasanuddin dengan julukan Karaeng I Lau
(Raja yang ada di negeri Barat-Banten) atau lebih dikenal dengan karaeng Lau.
Menurut Pangeran Ratu Kesultanan mempawa, Dr Mardan Adijaya, perkawinan
antara I Fatimah dan Maulana tidak membuahkan anak. Tetapi menurut sumber
lontara dari negeri Belanda, perkawinan I Fatimah dan Maulana Hasanuddin
membuahkan dua orang anak, yaitu Makkaraeng Karaeng Manjalling pada 26 Desember
1683 dan Siti Aisyah pada 6 Juni 1685.
I Fatimah dan suaminya Maulana juga ikut bergerilya di hutan-hutan. Di
lokasi persembunyian, Belanda melakukan serangan mendadak hingga pasukan I
Fatimah kocar kacir dan menyebabkan suami istri I Fatimah dan Maulana terpisah.
I Fatimah kabur bersama Daeng Kalibe Karaeng Malukessy, salah satu pasukan elit
pimpinan Karaeng Galesong hingga ke Kerajaan Mempawa Kalimantan Barat. Kerajaan
ini dipilih karena disana suda ada putra dari kerajaan Gowa yang pernah
memimpin negeri itu yaikni Opu Daeng Manambung.
Di Mempawa, I Fatimah dan rombongannya diperlakukan dengan baik dan
bijak bahkan Opu Daeng Manambung mengangkat I Fatimah sebagai anaknya. Setelah
lama bermukin di Mempawa dan tidak ada kabar dari suaminya, akhirnya I Fatimah
memutuskan untuk bercerai. Kemudian ia menikah dengan Daeng Kalibe dan
membuahkan seorang putri bernama Daeng Tipa.
I Fatimah pantang kembali ke negerinya, karena disana masih ada Belanda
yang bercokol di kerajaan. I Fatimah kemudian mendirikan perguruan bela diri
yang diberi nama Perguruan I Fatimah Daeng Takontu. Melalui perguruan ini, I
Fatimah menurunkan ilmu bela diri pada masyarakat Mempawa karena ingin melihat
semangat juang rakyat dan berharap kerajaan Mempawa menjadi tangguh dan mampu
dalam menghadapi kemungkinan adanya serangan dari Belanda.
Selain itu, I Fatimah juga mengajarkan syiar Islam di negeri itu. Dari
dakwah yang disampaikan kepada rakyat Mempawa akhirnya Raja membuat satu
jabatan khusus mengurusi masalah dakwah Islam dengan nama “mufti” mirip dengan
menteri agama di kerajaan lain, kalau di Gowa diberi nama Daengta Kaliya.
Keturunan Fatimah berkembang terus di negeri ini dan menikah dengan
masyarakat setempat, hingga sampai sekarang banyak pembesar dari negeri ini
mengakui jika nenek moyangnya berasal dari Gowa.
I Fatimah wafat dan dikuburkan di Pulau Tumaju, salah satu pulau di
Mempawa Kalimantan Barat. Pulau ini sering dijadikan tempat rekreasi raja pada
zaman dulu dan juga tempat persembunyian bagi pelarian. Pulau ini sangat indah,
di sekelilingnya ditumbuhi pohon nyiur dan pohon lainnya. Kuburan suaminya juga
diperkirakan ada di negeri itu. Hingga kini perguruan silat maupun kuburan I
Fatimah masih tetap lestari.
Biro Hukum : H. Abd Kadir,SH,Mh
Pemimpin Umum: Mustafa Kamal
Wakil : H.I.B. Hamka
mustafakamal0491@gmail.com https://mail.google.com/mail/u/0/#all/KtbxLwGgJLvztlmcjvwprJbJphgdbzdgLq?compose=CllgCKCDlVXQQqWFVXjZzhsTPKmfTQSfJtqjBmxSJGKjKXrvNrQdplDcMVwLXGhhGDsJngFjnjB
0 Komentar