Rumah Adat Saoraja Lapinceng Kab. Barru Butuh Perhatian Dinas Kebudayaan

Rumah Adat Saoraja Lapinceng didirikan pada tahun 1895 oleh pemerintahan Raja Balusu Andi Muhammad Saleh Dg. Parani, yang dikenal dengan gelar Petta Sulle. Rumah adat ini terdapat di Lapasu, Kecamatan Soppeng Riaja, 17 kilometer di utara Kabupaten Barru.
Barru,celebesmagzine blogspot.com- Lapinceng berdiri di lahan 43 are. Halaman ditumbuhi rumput hijau. Di bagian depan ada rumah jaga. Bagain samping, ada hamparan sawah dan di depan mengallir Sungai Balusu.bagian depan, rumah Lapinceng berbeda dengan rumah Bugis lain. Teras tidak mengikuti badan rumah dan tertutup. Biasa, teras rumah Bugis selalu terbuka, tempat beristirahat penghuni dan tempat bercengkrama.
Menapakkan kaki di rumah Lapinceng, seperti menjejak langkah di kayu besi. Tiang tampak kokoh. Pasak-pasak kayu terlihat menempel dan mengapit tiang. Rumah ini awalnya dibangun tanpa menggunakan sedikitpun unsur besi. Baru pada 1982, Balai Peninggalan Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan menetapkan sebagai benda cagar budaya, beberapa bagian dipasang baut, mur dan paku.
“Teknologi masa lalu menggunakan pasak kayu sangat sulit. Perlu keahlian khusus. Untuk menjaga digunakan unsur besi,” kata Ibrahim.
Rumah ini dibangun 1836. Pengadaan dan perlengkapan sejak 1814. Adalah Andi Saleha yang membangun. Rumah ini, diperkirakan hadiah untuk anaknya, Andi Muhammad Saleh yang menggantikan sebagai raja.
Lapinceng kediaman raja di Kerajaan Balusu. Kerajaan ini, palili atau di bawah pengaruh kerajaan Soppeng.  Raja bergelar datuk dan berkewajiban memberikan upeti kepada Soppeng.
Saat memasuki ruang utama rumah Lapinceng yang lapang, terlihat balok berdiri tidak sama tinggi. Balok itu,  menandakan posisi strata sosial para tamu. Yang paling tinggi di sebelah kanan kiri raja, paling rendah di dekat ruang keluarga menuju dapur.
Pada ruang utama itu, terdapat dua buah pintu geser. Satu menuju ruang keluarga, satu berhubungan dengan kamar raja. Memasuki ruang tengah, terdapat tiga buah kamar. Kamar raja, selir dan keluarga.
Secara keseluruhan, rumah Lapinceng menggunakan 35 tiang dengan 23 jendela. Tinggi rumah dari permukaan tanah sekitar 6,5 meter, dengan tinggi keseluruhan tiang mencapai 15 meter hingga pucuk atap.
Tiang dan dinding kayu rumah ini menggunakan kayu bitti berlantai bambu. Potongan bambu untuk lantai diurut dengan begitu rupa, hingga semua ruas tulang benar-benar sejajar. “Jika menebang 100 bambu, bisa untuk lantai hanya 40 buah, karena tulang ruas harus benar-benar seajajar,” kata Ibrahim.
Kala berkunjung ke Lapinceng, penggunaan lantai bambu sudah tak ada lagi berganti papan kayu. Ruas-ruas balok penyangga bambu hanya berjarak sekitar satu jengkal tetap dipertahankan.
Penggunaan nama Lapinceng diperkirakan karena proses pembangunan begitu lama. Pinceng (penyebutan huruf “e” dalam Lapinceng seperti menyebut kata “sehat”) dalam bahasa Bugis berarti piring kaca. Dari mulai pengadaan hingga pembangunan ada ratusan piring pecah. Pecahan-pecahan piring berhamburan juga menunjukkan biaya. Maka lahirlah penyebutan Lapinceng bukan rumah adat Balusu.
Pada masa lalu–di wilayah kini Kabupaten Barru–, ada empat kerajaan berdiri sama tinggi. Yakni Kerajaan Nepo Mallusetasi, Kerajaan Balusu, Kerajaan Barru, dan Kerajaan Tanete. Untuk itu, dalam lambang Kabupaten Barru terdapat empat payung kerajaan, menandakan penggabungan empat kerajaan dalam satu kesatuan administratif.
Saya memperhatikan tiang-tiang itu seksama. Tanda-tanda genangan air terlihat, tinggi sekitar 50 sentimeter. “Kayu bitti kuat, tapi jika terdendam terus setiap tahun akan mudah lapuk,” katanya. “Saya berharap pemerintah meninggikan atau mengangkat.”
Genangan air saat hujan itu bersumber dari luapan Sungai Balusu di depan rumah. Sungai ini masa lalu menjadi tempat menambatkan perahu-perahu nelayan, sudah terjadi pedangkalan dan makin sempit. Tak lagi dapat dilayari. “Saya kira raja tak mungkin memilih tempat jelek. Rumah ini dibangun, pada masa lalu pasti lokasi terbaik.”
Andi Ibrahim, selaku penjaga dan ahli waris rumah adat Lapinceng. mengatakan, sudah melaporkan beberapa kerusakan pada BP3 Sulawesi Selatan. “Untuk pemerintah Barru, memang selama ini tak pernah menjenguk. Kami sebagai ahli waris akan berusaha semampunya.”
Setiap bulan, sekitar 20 orang mengunjungi rumah Lapinceng. Pengunjung, 90% dari kalangan mahasiswa dan peneliti untuk melihat bentuk arsitektur, 10% masyarakat umum.
Editor : Musafa Kamal, Andi Saharuddin


Posting Komentar

0 Komentar