SUDUT OPINI
Latar belakang saya menggugat UUD 45 palsu melalui pengadilan, tidak menempuh cara lain adalah, bahwa Indonesia ini adalah negara hukum. Negara hukum (Rechtstaat) adalah negara yang menempatkan hukum sebagai panglima, "Equality before the law" semua berkedudukan sama di depan hukum. Hal ini sesuai konsitusi kita bahwa "Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum." Sehingga semua persoalan hukum sudah seharusnya diselesaikan di lembaga peradilan, dan tentu saja gugatan saya memakai dasar adanya temuan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh MPR periode 1999-2004 yang diketuai oleh Amien Rais, yaitu adanya Ketetapan MPR tanpa nomor tertanggal 10 Agustus 2002.
Saya ingin update perkembangan apa yang saya alami selama mengikuti semua acara persidangan, sehingga bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak yang akan beracara di lembaga peradilan.
Beberapa catatan yang ingin saya sampaikan adalah:
Pertama, soal waktu, jadwal persidangan ternyata molor, dan ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan, awalnya waktu yang disepakati adalah jam 10.00, tetapi molor menjadi jam14.00 atau bahkan lebih, sehingga tidak ada seorangpun bisa memprotes termasuk saya, karena seolah sudah menjadi budaya.
Kedua, ada beberapa pertanyaan muncul ketika pengadilan gagal menghadirkan prinsipal dalam sidang mediasi. Para tergugat dan turut tergugat hanya diwakili penasehat hukumnya, dan akhirnya mediasi gagal. Lalu saya selaku penggugat menyatakan secara resmi bahwa proses mediasi gagal sehingga persidangan dilanjutkan.
Ketiga, sebagai lanjutannya saya mengikuti acara sidang berikutnya yaitu pembacaan gugatan, kemudian sidang pembacaan eksepsi dari tergugat dan turut tergugat, selanjutnya sidang pembacaan replik dari pihak penggugat, diteruskan dengan sidang pembacaan duplik dari pihak tergugat dan turut tergugat dan diakhiri dengan pembacaan putusan sela.
Ada kejadian menarik, pada saat sidang pembacaan putusan sela tanggal 11 Agustus 2020, hakim menunda persidangan, dengan alasan karena ada urusan keluarga sehingga belum siap membacakan putusan sela, setelah itu terjadilah penundaan demi penundaan sampai akhirnya terjadi sidang pembacaan putusan sela tanggal 3 Nopember 2020.
Dalam sidang pembacaan putusan sela majelis hakim menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili gugatan saya menolak UUD'45 palsu. Setelah membacakan putusan sela, hakim menanyakan pada pihak tergugat dan pihat turut tergugat apakah menerima putusan sela, mereka menyatakan menerima, kemudian menanyakan pada pihak penggugat apakah menerima atau melakukan perlawanan terhadap putusan sela tersebut, spontan saya menjawab akan melakukan perlawanan, lalu saya diberikan waktu 2 minggu untuk menyatakan perlawanan dan berkas putusan sela bisa diambil paling lambat 3 hari setelah sidang.
Tanggal 12 Nopember kemudian, saya mengambil berkas putusan sela di Pelayanan Terpadu Satu Pintu, ajaibnya ternyata berkas belum turun, setelah dicek di Panitera, berkas putusan sela belum ditandatangani hakim karena cuti sampai tanggal 16 Nopember 2020. Sampai disini, saya hanya bisa mengambil nafas panjang....ternyata saya hanya punya waktu satu hari untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan sela.
Saya tidak akan menyerah karena gugatan menolak UUD'45 palsu ini bukan untuk kepentingan saya pribadi, tapi kepentingan banyak orang, untuk kepentingan generasi mendatang.
Ok, mengakhiri catatan saya ini, saya kembali mengingat kisah tauladan Nabi Musa a.s. Ketika rasionalitas Nabi Musa a.s. berucap, “Bagaimana umatku yang lemah dan tanpa senjata akan mengalahkan pasukan Fir'aun yang kuat?” Allah SWT menjawab, “Urusanmu hanya istiqamah dan taat, selainnya adalah kehendak-Ku.”
Maka, teguhlah dalam memperjuangkan kebenaran. Karena, Allah pasti bersama kita. "Perjuangan milik kita, Kemenangan milik ALLAH"
Salam Patriot Proklamasi!
Pewarta : Megy Aidillova/Jakarta
Editor : Mustafa Kamal
0 Komentar