Pemimpin Ideal Masa Depan Indonesia Harus Mampu Membenahi Kerusakan Lahir dan Batin*

  

Jacob Ereste :

celebesmagazine, 

ketika seorang calon pejabat publik begitu ngotot untuk menang dalam pemilihan yang hendak segera dilakukan, maka warga masyarakat atau warga yang ada di wilayah itu -- sebagai pemilihnya -- patut menaruh kecurigaan, ada apa sesungguhnya dibalik hasratnya yang menggebu-gebu itu untuk mengangkangi jabatan publik yang akan diberikan oleh warga masyarakat untuk dia kelola sebagaimana harapan ideal yang ada di dalam benak segenap warga setempat.

Setidaknya, dibalik sikap ngototnya untuk menduduki jabatan publik itu -- mulai dari Ketua Rukun Tetangga, Lurah, Camat, Bupati/ Walikota, Gubernur dan Presiden, pasti ada udang dibalik batu yang tersembunyi. Sebab pejabat publik itu hakikatnya adalah ladang pengabdian, bukan ladang mencari   kekayaan alias bidang pekerjaan untuk mengumpulkan harta banda. Karena dalam terminologi agama -- jabatan pejabat publik itu -- adalah hamparan luas sabana pengabdian yang perlu diolah untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, sikap ngotot untuk menjadi pejabat publik itu bukan atas panggilan hati nurani untuk berbuat baik kepada sesama manusia yang lain -- sebagai warga atau rakyat -- yang akan menjadi tanggung jawab dirinya sebagai pejabat publik untuk mengatasi dan mencarikan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang timbul di tengah masyarakat atau rakyatnya. 

Atas dasar itulah, pejabat publik yang baik dan benar adalah pengemban amanah rakyat. Maka itu ada istilah; raja yang alim disembah, dan raja yang zalim patut disanggah. Sebab amanah rakyat yang harus dijalankannya harus senantiasa dikembalikan kepada rakyat. Termasuk untuk melakukan evaluasi, mengkritik atau memberikan saran yang lebih baik dan lebih bijak dalam melaksanakan suatu program yang harus selalu diorientasikan untuk kepentingan orang banyak.

Oleh karena itu, calon pejabat yang ngotot untuk memenangkan suatu proses  pemilihan, dapat dijadikan patokan awal untuk menelisik motivasi dirinya untuk menduduki jabatan publik yang tengah diperebutkan itu, seperti dalam Pemilu 2024. Apalagi kemudian sejumlah cara dan strategi yang norak sudah dilakukan tanpa rasa risi dan malu untuk mendongkrak popularitas dirinya. Padahal, rakyat sudah semakin sadar bahwa ketangguhan yang sesungguhnya seorang pemimpin itu bukan karena popularitas dirinya. Toh, banyak artis yang telah duduk di lembaga legislatif -- karena mampu menyihir masyarakat pemilihnya -- tidak bisa banyak berbuat, apalagi untuk lingkup  masyarakat yang lebih luas.

Setidaknya untuk mereka yang berangkat dari habitat  seni dan budaya misalnya, bisalah memajukan bidang kesenian dan kebudayaan. Tapi, toh realitasnya dulu ketika dijagokan oleh partai yang mengusungnya untuk mencagok di Senayan, memang sekedar untuk ikutan saja mendongkrak suara yang bisa diperoleh oleh partai. Jadi memang bukan atas dasar pertimbangan kualitas, tetapi sekedar populeritas untuk kuantitas semata.

Mulai dari Ketua Rukun Tetangga saja yang begitu ngotot dan ambisius merebut jabatan itu jelas tiada kesadaran untuk mengemban amanah. Sebab amanah yang patut dijalankan itu sungguh berat, meski pada level Rukun Tetangga saja. Sebab masalah yang muncul dalam masyarakat setempat harus mampu dan harus bisa diatasi, sementara tugas pokoknya sebagai kepala keluarga di dalam rumah tangganya sendiri sangat mungkin tidak  tidak kalah banyak dan tidak kalah rumit untuk dia selesaikan.

Karena itu, nasehat orang bijak untuk menjadi seorang pemimpin itu -- mulai dari level keluarga hingga kelas negara -- sudah harus selesai atas dirinya sendiri, sehingga bisa berbuat untuk orang lain. Celakanya di Indonesia sekarang, jabatan publik itu sudah digradasi menjadi satu bidang pekerjaan semata-mata untuk memperoleh upah. Lalu apa bedanya dengan pemikiran umumnya buruh pabrik ?

Jadi, jelas jabatan publik itu bukan sebatas bidang pekerjaan semata, tetapi harus lebih dipahami sebagai sabana luas pengabdian yang siap diolah untuk memberi manfaat bagi orang banyak. Maka itu, sumpah jabatan bagi pejabat publik hari ini sekedar formalitas belaka dalam acara serah terima jabatan yang dianggap tidak lagi mempunyai sanksi moral yang patut di pertanggung jawabkan dalam arti dunia bagi masyarakat atau rakyat, dan tidak lagi dihiraukan sebagai pertanggungjawaban yang bersifat akhirat-- kepada Tuhan.

 Oleh karena itu, sumpah dan janji saat yang bersangkutan menerima jabatan publik yang baru itu, nyaris tanpa beban takut akan dosa. Sehingga perilaku korup, khianat dan penyelewengan -- termasuk menjual aset negara dan bangsa -- tiada rasa tega.

Begitu juga sikap ndablek -- membuat Indonesia terjebak dalam pembangunan duit hutangan -- jelas akan menjebak generasi berikut kelimpungan untuk menyelesaikannya. Dan atas dasar beban hutang yang bejibun ini pula, mengapa Calon Presiden Indonesia berikutnya (2024) masih mau ngotot merebut jabatan puncak itu ?

Bukankah bila merujuk serius pada beban hutang yang telah menjadi ancaman itu, tak hanya ketakutan yang harus diperhitungkan, tapi juga strategi dari cara untuk melepaskan diri dari model ijon kapitalis paling mutakhir ini, perlu diuraikan dalam paparan kampanye, sehingga rakyat pemilih dapat memahami cara berpikir yang jenius dari kandidat Presiden Indonesia yang pasti akan menanggung beban dan beragam masalah bangsa dan negara yang lebih berat. Apalagi kemudian kekonyolan dari hasrat untuk membangun dinasty, seakan legacy dari  IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara dan Kereta Super Cepat Jakarta-Bandung masih kurang menjadi persoalan yang perlu disikapi dengan cara yang lebih bijak.

Agaknya, penjualan sumber daya alam pun yang dikuras habis-habisan itu, gairah birahinya memang sudah jauh melebihi nafsu binatang. Sebab nilai-nilai insani yang fitri sebagai anugrah dari Tuhan sudah tercampak tidak terpakai. Akibatnya, Tanak, rakus dan kemaruk seperti yang semakin menjadi-jadi di negeri kita hari ini, jelas akibat dari pemahaman terhadap hakikat manusia itu sesungguhnya adalah khalifah Allah -- wakil Tuhan di bumi -- untuk berbuat kebaikan. Bukan kerusakan, alam dan lingkungan semata, tetapi juga ruh dan jiwa kemanusiaan dirinya sendiri maupun orang lain.

Jadi jelas pemimpin masa depan Indonesia adalah sosok yang mampu membenahi berbagai kerusakan yang meliputi wilayah lahir dan wilayah batin. Demikianlah, pesan seorang kawan yang tekun melakoni laku spiritual di pinggiran kota Jakarta. Pesan moral ini katanya, lebih utama ditujukan kepada rakyat pemilih, agar tidak terjebak dalam bujuk rayu dan iming-iming mereka yang semakin membabi-buta memasuki masa kampanye yang seharusnya menempatkan posisi masyarakat sebagai pemilih yang cerdas dan juga jujur. Meski terus dipaksa menerima paket sembako yang tidak seberapa nilainya itu bila dibanding dengan dera dan derita akibat salah pilih sosok pemimpin yang  amanah hendak menunaikan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Cilengsi, 14 Juli 2023









Pers Adalah Salah Satu Mitra Kerja Untuk Membangun & Memajukan Bangsa






Posting Komentar

0 Komentar