Suku Bugis sangat terkenal sebagai pelaut ulung.

 Suku Bugis sangat terkenal sebagai pelaut ulung. 

Suku Bugis sedari dulu memang terkenal sebagai pelaut ulung. Dengan bermodalkan bintang-bintang di langit dan kepandaian membaca alam, mereka mengarungi samudera dan melintasi berbagai benua. Tidak heran, kemampuan ini mengundang decak kagum dari berbagai pihak. Beberapa waktu yang lalu, tim Lontara Project sempat mewawancarai

Prof. Eugene E. Ammarell, seorang antropolog ramah dan rendah hati asal Amerika Serikat yang sangat tertarik akan sistem navigasi Bugis ini. Yuk, simak kisahn 
Perkenalannya dengan kebudayaan maritim memiliki sejarah yang cukup panjang. Pak Gene percaya bahwa pertemuannya dengan kebudayaan ini merupakan sebuah ‘serendipity’. Pada awalnya, beliau belajar tentang astronomi Amerika dan Eropa. Suatu hari, beliau menghadiri sebuah diskusi. Di diskusi itu beliau menyadari bahwa ada banyak hal yang bisa dipelajari tentang astronomi di Indonesia yang bahkan belum pernah dibicarakan atau ditulis oleh orang-orang sebelumnya. Beliau kemudian mulai mencari tahu banyak hal mengenai navigasi, salah satunya adalah navigasi Polinesia. Kebetulan, beliau bertemu dua orang berbeda yang kemudian menjadi awal perkenalannnya dengan navigasi

Bugis. 
Pertama, kolega beliau  di Peace Corps, seorang wanita dari Malaysia, namun berdomisili di Amerika Serikat. Selama dua tahun, Pak Gene pernah tinggal di Malaysia dan mengajar sains dan matematika sebagai bagian dari program Peace Corps yang beliau ikuti. Koleganya ini pernah berlayar selama setahun dengan menggunakan perahu Bugis dalam rangka penelitian post-doctoral nya tentang studi ekonomi. Pak Gene kemudian menanyakan berbagai hal mengenai sistem navigasi. Satu kalimat yang Ia ingat dengan pasti dari mulut koleganya itu ialah“Buginese people are good navigators”. Kedua, koleganya yang sedang belajar di Kalimantan. Beliau mengambil kelas darinya dan menanyakan tentang suku Dayak yang mempelajari bintang. Dari koleganya tersebut, beliau mengetahui bahwa suku Dayak mempelajari bintang untuk pertanian. Ketiganya kemudian mengajukan hibah untuk melakukan studi kecil-kecilan tentang astronomi di Dayak dan astronomi di Bugis. Setelah setengah bulan di Kalimantan, mereka akhirnya ke Makassar. Pelabuhan Paotere adalah tempat yang mereka tuju. Di sana mereka melihat sebuah lambo, sebuah perahu niaga jarak jauh, yang menarik perhatian. Walaupun kecil, lambo tersebut masih baru dan terlihat bagus. Mereka pun menghampiri lambo tersebut dan berbicara dengan kaptennya, seorang pria bernama Pak Razak, untuk menggali informasi. Pak Razak yang pemalu tidak banyak bercerita,

namun beliau mengenalkan Pak Gene dan koleganya kepada temannya, Pak Syarifuddin, yang juga merupakan seorang kapten perahu. 
Berbeda dengan Pak Razak, Pak Syarifuddin senang berbicara dan memberi tahu mereka banyak hal. Beliau juga memiliki perahu kecil, namun bermesin. Kebetulan ketika itu, Pak Syarifuddin akan berlayar ke Bima, tapi harus transit dulu di Pulau Balo-baloang. Nah, di sinilah awal perkenalan Pak Gene dengan Pulau Balo-Baloang. Pak Gene dan koleganya ingin berlayar menggunakan perahu Bugis tanpa mesin, “We want to sail on a real Bugis ship”, katanya. Akhirnya mereka menyasar perahu pak Razak yang memang masih menggunakan layar. Pak Razak sudah mengingatkan bahwa pelayaran akan memakan waktu yang lama dan perjalanannya belum tentu disukai oleh mereka. Namun, pak Gene dan koleganya tetap nekat untuk berlayar. Benar saja, mereka membutuhkan waktu selama tiga hari untuk sampai di Pulau Balo-Baloang. Namun, Pak Gene tidak menyesal karena pemandangan yang beliau liat selama berlayar sangat indah, It was beautiful on the boat,” ujarnya. Pelayaran tersebut hanyalah permulaan dari banyak pelayaran yang dilakukannya. Beberapa waktu kemudian, atas permintaan beliau, Pak Syarifuddin membawanya berlayar selama lima minggu lagi.

 Dari perjalanan itu, Pak Gene terkesan sekaligus menyadari bahwa betapa sulit menjalani pekerjaan sebagai pelaut. 

Mereka bisa saja berada di lautan selama beberapa minggu dan mereka harus menemukan jalan pulangnya kembali. Menurut beliau, hal tersebut tidak mudah dilakukan, butuh keterampilan khusus. Pak Gene bersama tim Lontara Projece Pak Gene sedang berbincang dengan koleganya Ditanya mengenai perbedaan mendasar antara navigasi Barat dan navigasi Bugis. Pak Gene mengutarakan bahwa navigasi barat pada umumnya mekanis, sangat bergantung pada Global Positioning System (GPS), kompas magnetik, dan sebagainya. Navigasi barat sangat matematis. Jadi, begitu alat-alat tersebut tidak bekerja, para pelaut tidak bisa berbuat apapun. 


Sebaliknya, navigasi Bugis mengandalkan bintang, arah angin, pergerakan cuaca, dan kemampuan membaca laut.


 “I’ve never studied Western navigation very much. I think I understand Bugis navigation better.” aku Pak Gene. Keramahan dan keterbukaan masyarakat Indonesia, terutama pelaut Bugis-lah yang membuat Pak Gene selalu merasa terpanggil untuk kembali ke Indonesia. Mereka telah begitu baik kepada beliau dan telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Selain belajar banyak tentang navigasi, 


Pak Gene juga belajar tentang arti berbagi dari masyarakat Indonesia. Menurutnya, itulah yang menjaga keseimbangan harmoni dalam masyarakat kita.


Sebenarnya, tim Lontara Project masih ingin berbincang lebih lama dengan Pak Gene. Namun, ternyata waktu tidak memungkinkan. Pak Gene harus segera bersiap untuk kunjungan berikutnya ke Pulau Balo-Baloang. Nah, Sobat Lontara, kalau Pak Gene saja yang bukan orang Indonesia asli bisa begitu tertarik dengan keunikan tradisi kita, kenapa kita tidak? Kita bangsa yang kaya loh. Jangan malu mengkaji sistem budaya kita sendiri.PS: Dua minggu setelah wawancara bersama dengan Pak Gene dilakukan, tim Lontara Project yang sedang berada di Makassar yaitu Ahlul, Maharani dan Nirwan sempat bertemu dengan Pak Gene, sebelum beliau berangkat menuju Pulau Balo-Baloang. Pada kesempatan itu kami berbincang lagi dengannya dan dijanjikan untuk diberi buku “Navigasi Bugis”, masterpiece beliau. Sekarang, buku berjumlah 326 halaman itu menjadi inspirasi bagi kami untuk terus mengkaji dan mencintai budaya Indonesia sebagaimana janji kami kepadanya. Terima kasih, Pak Gene.

 Prof. Eugene E. Ammarell atau yang akrab disapa Pak Gene sudah bertahun-tahun meneliti tentang sistem navigasi di Indonesia. Beliau bahkan telah menelurkan sebuah buku berjudul Bugis Navigation (1999), salah satu buku dengan penjelasan terlengkap tentang sistem navigasi Bugis. Mantan direktur Southeast Asian Studies di Universitas Ohio ini pernah tinggal lama di Pulau Balo-Baloang, sebuah pulau di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang letaknya jauh di selatan hampir mendekati Madura, demi kepentingan riset kebudayaan maritim suku Bugis-Makassar. Terbiasa berkomunikasi dengan penduduk setempat membuat beliau mengerti cukup banyak bahasa Bugis. Sepanjang wawancara pun, sesekali Pak Gene melontarkan beberapa kata dalam bahasa Bugis, yang terdengar khas karena masih bercampur dengan aksen Amerika-nya. Kedatangan beliau kali ini, selain untuk mengunjungi Pulau Balo-Baloang, juga untuk memberikan kuliah umum tentang “Shared Space, Conflicting Perceptions, and the Destruction of an Indonesian Fishery” di salah satu universitas swasta di Jakarta.Prof. Eugene E. Ammarell atau yang akrab disapa Pak Gene sudah bertahun-tahun meneliti tentang sistem navigasi di Indonesia. Beliau bahkan telah menelurkan sebuah buku berjudul Bugis Navigation (1999), salah satu buku dengan penjelasan terlengkap tentang sistem navigasi Bugis. Mantan direktur Southeast Asian Studies di Universitas Ohio ini pernah tinggal lama di Pulau Balo-Baloang, sebuah pulau di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang letaknya jauh di selatan hampir mendekati Madura, demi kepentingan riset kebudayaan maritim suku Bugis-Makassar. Terbiasa berkomunikasi dengan penduduk setempat membuat beliau mengerti cukup banyak bahasa Bugis. Sepanjang wawancara pun, sesekali Pak Gene melontarkan beberapa kata dalam bahasa Bugis, yang terdengar khas karena masih bercampur dengan aksen Amerika-nya. Kedatangan beliau kali ini, selain untuk mengunjungi Pulau Balo-Baloang, juga untuk memberikan kuliah umum tentang “Shared Space, Conflicting Perceptions, and the Destruction of an Indonesian Fishery” di salah satu universitas swasta di Jakarta

Editorial : Mustafa Kamal

Posting Komentar

0 Komentar