Sejarah Orang Bugis di Serangan, Bali

 

Marak upacara adat bugis di perkampungan orang bugis di serangan Pulau Dewata Bali

 DENPASAR, Celebes  Magazine. Com - Batu nisan yang bertuliskan "Puak Matoa" itu tampak berisi ukiran.

Tak jelas bentuk ukirannya, apakah khas Jawa atau Bali.

Di sanalah makam seorang tokoh yang dulunya dikenal sebagai penggerak warga Bugis pada abad ke-17.

Kala itu merupakan awal mula masuknya orang Bugis ke Bali, khususnya di Pulau Serangan, Denpasar, yang sekarang dinamakan Kampung Bugis.

Di batu nisan kuburan itu pula, tampak tulisan "Syeh Haji Mukmin Bin Hasanudin".

Dialah orang Bugis pertama yang menempati Pulau Serangan bersama 44 orang Bugis lainnya.

Dalam bahasa orang Bugis, Puak Matoa diartikan sebagai seorang kepala lingkungan.

Dialah orang yang berhasil mengelabui Belanda dengan ilmu kanuragannya, sehingga perjalanannya berlayar tak bisa diintai Belanda waktu itu.

Kala itu, pada tahun 1600-an, ketika Belanda (VOC) mengeluarkan aturan, banyak orang Bugis yang tidak terima, namun sebagian ada yang takluk.

Mereka yang tidak terima inilah, kemudian memilih pergi berlayar.
Ada yang ke Sumbawa, Kalimantan, Sumatera, dan ke Bali.

"Mukmin ini adalah satu dari rombongan yang berlayar itu. Karena ada tekanan politik, terutama aturan dari VOC yang tidak mau diikuti. Nah waktu itu mencar (berpencar, Red), dan Puak Matoa ini yang datang ke Bali," kata Drs Haji Ahmad Sastra MPd, satu di antara keturunan Puak Matoa, Haji Mukmin itu kepada Tribun Bali, Rabu (4/1/2017).

Ahmad Sastra adalah anak keempat dari cucu Mukmin yang bernama Haji Abdulah.

Haji Abdulah memiliki ayah bernama Haji Muhammad Saleh.

Haji Saleh inilah anak pertama dari Mukmin yang merupakan Puak Matoa dari Kampung Bugis di Serangan.

Sesepuh Kampung Bugis Serangan, Haji Muhammad Mansyur secara terpisah mengatakan, dalam perjalanan berlayar di laut, sebetulnya Mukmin tidak tahu arah mau ke mana.

Pada abad ke-17, diceritakan bahwa rombongan perahu tua itu melihat sebuah gunung menjulang yaitu Gunung Agung, Karangasem.

Mereka kemudian memutuskan untuk mendekat ke sana, akhirnya sampai di Singaraja.

Belanda masih berada di Singaraja, rombongan kemudian memutar arah ke selatan Pulau Bali yaitu di Pulau Serangan.

"Dia (Mukmin) bilang, berlabuh di sini (di Serangan, Red) saja," tutur pria yang sehari-hari bertugas mengurusi kuburan tua, masjid dan cagar budaya di Kampung Bugis Serangan itu.
Eksekusi di Kampung Bugis Serangan

Tak lama kemudian, lanjut Mansyur, muncul utusan Raja Puri Pemecutan Badung yang menanyakan keberadaan orang Bugis di Serangan.

Mereka kemudian dipanggil menghadap ke Puri Pemecutan Oleh Raja Badung Cokorda Ngurah Sakti yang beragama Hindu, Mukmin dinilai orang yang santun, dinilai dari tata krama dan sikapnya saat berkomunikasi.

Raja pun berpikir Mukmin bukan orang sembarangan.

Ada sejumlah syarat yang diberikan kepada warga Bugis kala itu, yakni bisa menjaga Pulau Serangan, termasuk Pura Sakenan, dan ikut mem-back up kerajaan Badung dalam perang melawan Kerajaan Mengwi.

"Akhirnya Kerajaan Badung menang, dan Kerajaan Mengwi kalah. Waktu itu ada 31 yang meninggal orang Bugis dalam tempur melawan Mengwi. Makanya hubungan antara kerajaan Badung dan orang Bugis itu sangat baik sekali," kata Haji Ahmad Sastra kepada Tribun Bali, di tempat terpisah

Keberadaan orang Bugis di Pulau Serangan, Denpasar merupakan yang tertua dan yang terbesar, serta yang paling kental adat dan budayanya.

Saat membentuk komunitas di Serangan, warga Bugis di sana--karena alasan perkawinan, dan pekerjaan--berpencar dan berdiaspora ke daerah-daerah sekitarnya seperti Tuban, Suwung, Kuta, Kepaon, Denpasar, Tanjung Benoa, dan Angantiga.

Kampung Bugis Serangan dinilai paling tua, dan paling besar dilihat dari peninggalan-peninggalan yang ada, adat istiadat, dan lain sebagainya.
Di Kampung Bugis Serangan, Denpasar, juga terdapat sebuah masjid tua yang dinamakan Masjid Asy-Syuhada.

Masjid ini adalah pemberian Raja Badung agar orang Bugis pada zaman dulu memiliki tempat beribadah.

Selain masjid, di Kampung Bugis juga masih terlihat satu rumah panggung kuno peninggalan zaman dahulu.

Rumah itulah yang sekarang menjadi Cagar Budaya di sana.

Warga menyebut banyak wisatawan yang datang untuk berfoto di depan rumah tersebut. (i wayan erwin widyaswara)
Editor:Mustafa Kamal

Posting Komentar

0 Komentar